Gangguan Psikologis Rentan Terjadi Pada Orang yang Dikarantina

Sejumlah WNI yang menjalani karantina di pulau Natuna dipulangkan pada hari Sabtu, 15 Februari 2020. Meski para WNI dilaporkan dalam keadaan sehat, penelitian menyebutkan ada kemungkinan mereka mengalami gangguan psikologis usai menjalani karantina.

Lantas, apa saja dampak yang karantina untuk keadaan psikologis seseorang? Bagaimana mengatasinya?

Gangguan psikologis pada orang-orang yang dikarantina

Sumber: Kementerian Luar Negeri

Gangguan psikologis seperti ketakutan dan khawatir akan dicap sebagai penyebar penyakit tentu kerap dirasakan oleh orang-orang yang menjalani karantina. Walau mereka pulang dalam keadaan yang baik-baik saja, masih ada stigma buruk dari masyarakat yang tetap menempel. Tak jarang beberapa orang merasa tertekan karena pandangan tersebut.

Para peneliti dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Amerika Serikat (CDC ) pernah melakukan sebuah riset tentang dampak yang muncul pada orang-orang yang dikarantina ketika virus SARS merebak. Penelitian tersebut menunjukkan adanya pengaruh pada kondisi psikis orang yang dikarantina.

Penelitian dilakukan dengan mengkaji data dari peserta melalui survei yang terdiri dari 152 pertanyaan pilihan ganda setelah masa karantina berakhir. Survei yang diberikan berisi pertanyaan seputar hal-hal yang terjadi saat karantina.

Hasilnya, semua koresponden menunjukkan adanya perasaan seperti terisolasi dari dunia luar. Mereka mengaku bahwa terbatasnya kehidupan sosial dan kurangnya kontak fisik dengan keluarga merupakan hal tersulit yang dirasakan selama masa karantina.

Tidak hanya menimbulkan rasa tak nyaman pada hidung dan pernapasan, kewajiban untuk menggunakan masker setiap saat sebagai salah satu langkah untuk mengendalikan infeksi juga menambah perasaan terisolasi.

Sebagian orang bahkan merasa cemas setiap waktu pemeriksaan suhu tubuh datang. Ketakutan akan naiknya suhu tubuh membuat mereka merasa pemeriksaan tersebut semakin sulit untuk dilakukan. Beberapa menggambarkannya seperti sesuatu yang membuat jantung mereka berdebar-debar saat menantikan hasilnya.

Tingkat stres juga ditemukan lebih tinggi pada orang-orang yang menjalani masa karantina lebih lama. Semakin lama mereka berada di karantina, semakin tinggi pula ketakutan mereka akan gejala-gejala yang mungkin akan semakin parah, salah satu yang menjadi pemicu adalah ketika mendengar kabar kematian salah satu pasien SARS.

Dampak tersebut akan semakin buruk terutama pada orang-orang yang pernah mengalami kejadian traumatis sebelumnya. Jika tidak segera ditangani, orang tersebut bisa saja memunculkan gejala post-traumatic disorder. Apalagi bila orang tersebut melewati sebuah momen yang melibatkan sesuatu yang mengancam jiwa.

Kesimpulannya, proses karantina memang bisa berpotensi meningkatkan gangguan psikologis.

Petugas kesehatan di karantina juga mengalami gangguan psikologis

pasien suspek coronavirus

Tak hanya pada orang-orang yang menjalani karantina, dampak psikologis juga dirasakan pada para petugas kesehatan yang bertugas merawat pasien.

Sekelompok peneliti melakukan wawancara terhadap 10 petugas kesehatan di Toronto yang dikarantina selama 10 hari karena paparan terhadap SARS. Para petugas tersebut menggambarkan dilemanya sebagai seorang pekerja yang harus tetap sigap dalam merawat pasien dan di saat yang bersamaan juga memiliki kekhawatiran tersendiri akan menularkan virus ke orang-orang terdekat.

Selama menjalani masa karantina, mereka harus selalu menggunakan masker serta tetap tinggal di dalam ruangan. Tidak hanya berdampak pada keadaan psikis, meski karantina dilakukan di rumah, mereka tetap merasa masa tersebut juga berpengaruh terhadap kedekatan hubungan dengan keluarga.

Mereka merasa terasingkan karena minimnya kontak sosial dengan orang-orang terdekat, perbuatan seperti memeluk anggota keluarga lainnya juga tidak boleh dilakukan. Lebih jauhnya lagi, beberapa dari mereka juga harus terpisah dari pasangannya dengan tidur di kamar yang berbeda.

Stigma dari masyarakat yang dirasakan pun tak kalah buruknya. Meski para petugas berusaha maklum dan memahami bahwa hal tersebut adalah hasil dari kurangnya pemahaman tentang penyakit dan segala risikonya, mereka tetap merasa sakit hati dan dikucilkan.

Bahkan ketika wabah sudah mulai menurun, beberapa petugas sampai menyangkal bahwa mereka pernah terlibat dalam karantina. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari reaksi negatif yang mungkin akan muncul dari orang lain.

Orang-orang yang sudah sensitif lebih rentan terhadap stres

gejala stres

Melihat pada kasus penyebaran COVID-19 beberapa bulan belakangan ini, Baruch Fischhoff Ph.D, seorang profesor di Universitas Carnegie Mellon, Pennsylvania, turut menyatakan opininya lewat wawancara bersama Asosiasi Psikologi Amerika.

Dia mengatakan adanya perbedaan di antara kasus SARS dan coronavirus yang baru dalam dampak yang diberikan. SARS memiliki tingkat fatalitas yang jauh lebih tinggi. Oleh sebab itu, orang-orang yang dikarantina cenderung merasakan kecemasan yang luar biasa seiring dengan semakin banyaknya pasien yang meninggal. Terlebih lagi obat yang tersedia saat kasus SARS merebak belum sebaik obat yang ada pada masa sekarang.

Terutama jika pasien berada dalam masa karantina yang lebih lama. Semakin terganggunya produktivitas, semakin seseorang akan merasa rentan. Pasien yang sudah sensitif memiliki kemungkinan yang lebih besar terhadap gejala stres atau depresi.

Sebetulnya, hal yang lebih dikhawatirkan daripada kasus coronavirusnya sendiri adalah stigma sosial yang muncul.

Pengetahuan dan informasi tentang COVID-19 yang masih terbatas membuat orang-orang semakin panik dengan berbagai kemungkinan yang bisa membahayakan hidup mereka. Tak heran jika nantinya mereka akan berusaha menjauh dari segala hal yang berisiko, termasuk orang-orang yang pernah dikarantina.

Pernyataan tersebut bukanlah tanpa bukti, 51% koresponden dalam survei SARS di tahun 2004 mengaku mendapatkan perlakuan yang berbeda dari orang-orang di sekitarnya. Beberapa di antaranya seperti menghindar ketika bertemu, tidak disapa, sampai tidak diundang ke sebuah acara turut mereka alami.

Stigma inilah yang nantinya malah akan menimbulkan dampak buruk pada perasaan orang-orang yang pulang dari karantina. Karena itulah dukungan sosial dari masyarakat di sekitarnya sangatlah berarti.

Dilansir dari Kompas, Presiden Joko Widodo mengimbau kepada masyarakat agar menerima kepulangan WNI dari observasi di Natuna dengan baik. Masa karantina yang dilakukan selama 14 hari tentunya sudah sesuai prosedur, WNI juga pulang dalam keadaan sehat sehingga masyarakat tidak perlu khawatir.

The post Gangguan Psikologis Rentan Terjadi Pada Orang yang Dikarantina appeared first on Hello Sehat.



from Hello Sehat https://ift.tt/2SLQlyE


tonton juga video ini
Daftar Unik Skandal Sera Amane
Daftar Unik 5 peraturan sekolah

Komentar